Rabu, 20 Januari 2010

Mataram Kuno

Dinasti Syailendra

Bhanu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Bhanu adalah nama seorang pemimpin Wangsa Sailendra yang berkuasa di Jawa Tengah. Beberapa literatur menyebut tahun pemerintahannya adalah 752775. Namun, rentang waktu ini hanya bersifat dugaan yang kebenarannya perlu pembuktian.

Kisah Hidup

Nama Bhanu ditemukan dalam prasasti Plumpungan sebagai seorang pemimpin yang memberikan tanah di desa Hampran, di daerah Trigramwya (sekarang Salatiga) pada tanggal 24 Juli 752. Penganugerahan ini dilakukan demi kebaktian terhadap Sang Isa, dengan persetujuan dari Sang Siddhadewi. Prasasti tersebut ditemukan di desa Beringin, Salatiga.

Pada masa pemerintahan Bhanu terdapat tokoh lain, yang mungkin hidup sezaman, yaitu Sanjaya raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno). Tokoh ini mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732. Menurut teori Slamet Muljana, seorang anggota Wangsa Sailendra bernama Rakai Panangkaran akhirnya berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya.

Apabila teori ini benar, maka dapat diperkirakan adanya hubungan kekerabatan antara Bhanu dengan Rakai Panangkaran. Bisa jadi mereka adalah ayah dan anak, atau mungkin kakak dan adik. Rakai Panangkaran sendiri memiliki nama asli Dyah Pancapana sehingga kecil kemungkinannya kalau ia identik dengan Bhanu.

Tahun Pemerintahan

Pada umumnya, Bhanu dianggap sebagai raja pertama Wangsa Sailendra yang memerintah pada tahun 752775. Padahal prasasti itu sama sekali tidak menyebut Bhanu sebagai raja. Kemungkinan besar, Bhanu hanya menjabat sebagai penguasa daerah bawahan pada pemerintahan Sanjaya.

Prasasti Plumpungan yang dikeluarkan Bhanu merupakan prasasti bertuliskan aksara Jawa Kuna tertua yang pernah ditemukan. Sementara itu ditemukan pula prasasti Sojomerto yang menyebut adanya nama Dapunta Selendra yang juga diduga kuat merupakan cikal bakal Wangsa Sailendra. Prasasti tersebut berbahasa Melayu Kuno. Tidak jelas apakah tokoh Dapunta Selendra ini identik dengan Bhanu.

Sementara itu tahun pemerintahan Bhanu yang secara populer dianggap berlangsung pada 752 – 775 masih merupakan dugaan dan belum jelas kebenarannya.

Alasan pertama ialah, tahun 752 merupakan tahun dikeluarkannya prasasti Plumpungan. Tidak ada bukti kuat bahwa prasasti ini adalah prasasti pertama yang dikeluarkan oleh Bhanu. Mungkin saja Bhanu sudah memerintah sebelum tahun 752.

Alasan kedua ialah, tahun 775 adalah tahun dikeluarkannya prasasti Ligor oleh Maharaja Wisnu yang dianggap sebagai pengganti Bhanu. Dengan alasan yang sama, belum tentu Wisnu naik takhta pada tahun tersebut.

Alasan ketiga ialah, tidak ada bukti yang kuat kalau Wisnu adalah pengganti Bhanu. Mungkin saja ada raja lain yang memerintah di antara mereka, yang sampai saat ini belum ditemukan prasastinya.

Slamet Muljana berpendapat, anggota Wangsa Sailendra pertama yang berhasil menjadi raja ialah Rakai Panangkaran, bukan Bhanu. Menurut teorinya, Rakai Panangkaran berhasil mengalahkan keluarga Sanjaya dan merebut takhta Kerajaan Medang. Rakai Panangkaran kemudian digantikan Dharanindra yang juga dijuluki sebagai Maharaja Wisnu.


Wisnu (raja)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Wisnu (raja Mataram))
Langsung ke: navigasi, cari

Maharaja Wisnu adalah seorang raja dari Wangsa Sailendra yang dipercaya telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya. Beberapa literatur menyebut tahun pemerintahannya terjadi pada 775782. Namun rentang waktu ini hanya bersifat dugaan yang kebenarannya masih perlu untuk dibuktikan.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Naskah Prasasti Ligor

Nama Wisnu terdapat dalam prasasti Ligor yang ditemukan di Semenanjung Malaya. Prasasti ini berupa sebongkah batu yang bertuliskan pada kedua sisinya. Sisi pertama disebut prasasti Ligor A, dikeluarkan oleh raja Kerajaan Sriwijaya yang dipuji bagaikan Indra. Raja tersebut meresmikan bangunan Trisamaya Caitya pada tahun 775. Dengan kata lain daerah Ligor pada saat itu merupakan jajahan Sriwijaya.

Sisi yang satu lagi disebut dengan istilah prasasti Ligor B, dikeluarkan oleh raja dari Wangsa Sailendra yang disebut Wisnu dan bergelar Sri Maharaja (terjemahan Dr. Chhabra). Sisi yang kedua ini berisi pujian terhadap raja tersebut sebagai Sarwwarimadawimathana, yang artinya “pembunuh musuh-musuh perwira”.

[sunting] Teori Coedes

Sejarawan Prof. George Coedes (1950) berbeda penafsiran dengan Dr. Chhabra. Ia berpendapat bahwa prasasti Ligor A dan B dikeluarkan oleh Wisnu pada saat yang bersamaan, yaitu pada tahun 775. Menurutnya pula, dalam prasasti Ligor B terdapat dua orang raja, yaitu Wisnu dan Sri Maharaja.

Coedes berpendapat bahwa Wisnu adalah ayah dari Sri Maharaja yang tidak jelas namanya itu. Sri Maharaja sendiri dianggap identik dengan Dharanindra yang mengeluarkan prasasti Kelurak (782). Dengan kata lain, Maharaja Wisnu raja Sriwijaya adalah ayah dari Dharanindra raja Jawa. Beberapa sejarawan lainnya yang sependapat menganggap tokoh Dharanindra ini sebagai maharaja yang menaklukkan Rakai Panangkaran putra Sanjaya.

[sunting] Teori Slamet Muljana

Sejarawan Slamet Muljana (1960) berpendapat bahwa, terjemahan Dr. Chhabra lebih benar, yaitu Wisnu dan Sri Maharaja bukan ayah dan anak, melainkan satu orang yang sama. Berdasarkan perbedaan tata bahasa, ia juga menolak anggapan kalau prasasti Ligor A dan B ditulis pada waktu yang bersamaan.

Menurutnya Slamet Muljana, hanya prasasti A saja yang ditulis pada tahun 775 oleh raja Sriwijaya yang dipuji bagaikan Indra. Sedangkan prasasti B dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu setelah Kerajaan Sriwijaya berhasil dikuasai Wangsa Sailendra.

Wisnu dan Dharanindra masing-masing dijuluki sebagai Sarwwarimadawimathana (prasasti Ligor B) dan Wairiwarawiramardana (prasasti Kelurak) yang keduanya bermakna sama, yaitu "pembunuh musuh-musuh perwira". Selain itu, nama Wisnu dan Dharanindra juga memiliki makna yang sama, yaitu "pelindung dunia". Dengan kata lain, Slamet Muljana menganggap Maharaja Wisnu dan Dharanindra adalah orang yang sama.

Slamet Muljana juga membantah teori bahwa Rakai Panangkaran adalah putra Sanjaya yang dikalahkan Dharanindra. Dalam prasasti Kalasan (778) Rakai Panangkaran disebut sebagai "permata wangsa Sailendra", jadi tidak mungkin kalau ia adalah putra Sanjaya. Justru menurutnya, Rakai Panangkaran merupakan raja Sailendra pertama yang berhasil mengalahkan keluarga Sanjaya dan merebut takhta Kerajaan Medang periode Jawa Tengah (atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno).

Lebih lanjut Muljana berpendapat, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran yang berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dengan kekuatannya. Setelah peristiwa itu, Ligor yang merupakan jajahan Sriwijaya secara otomatis menjadi jajahan Wangsa Sailendra. Daerah itu pun dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Kamboja dan Campa. Sebagai tanda kekuasaan, Dharanindra menulisi bagian belakang prasasti Ligor A, sehingga lahir prasasti B yang isinya berupa puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu.

Teori Slamet Muljana ini juga didasarkan pada data sejarah Kamboja, bahwa Campa pernah diserang Jawa tahun 787. Kemudian pada tahun 802 Raja Jayawarman berhasil memerdekakan Kamboja dari penjajahan Jawa.

Apabila teori ini benar, maka penulisan prasasti B merupakan tanda berkuasanya Wangsa Sailendra atas daerah Ligor yang terjadi antara tahun 778 dan 787. Muljana menyimpulkan, setelah berhasil menaklukkan Jawa, keluarga Sailendra pun menaklukkan Sriwijaya dan menjadikan Ligor sebagai batu loncatan untuk menyerang Kamboja.

[sunting] Tahun Pemerintahan Wisnu

Apabila teori Slamet Muljana benar, maka tahun pemerintahan Maharaja Wisnu yang berlangsung dari 775782 sebagaimana banyak ditemukan dalam beberapa literatur perlu untuk ditinjau ulang.

Alasan pertama ialah, tahun 775 merupakan tahun penulisan prasasti Ligor A oleh raja Kerajaan Sriwijaya sebelum berkuasanya Wangsa Sailendra. Muljana menganggap hanya prasasti B yang dikeluarkan oleh Wisnu dan itu pun ditulis sesudah tahun 775.

Alasan kedua ialah, andaikata prasasti A benar-benar dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu tahun 775, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti ini adalah prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Wisnu belum tentu naik takhta tepat tahun 775.

Alasan ketiga ialah, tahun 782 merupakan tahun dikeluarkannya prasasti Kelurak oleh Dharanindra. Apabila teori Coedes benar bahwa Dharanindra adalah putra Wisnu, tetap saja tidak ada bukti kuat kalau prasasti Kelurak merupakan prasasti pertamanya. Dengan kata lain, Dharanindra mungkin saja naik takhta menggantikan Wisnu sebelum tahun 782.

Dengan demikian, masa pemerintahan Maharaja Wisnu tidak dapat dipastikan benar-benar terjadi pada tahun 775 – 782.

Dharanindra

Dharanindra, atau kadang disingkat Indra, adalah seorang raja dari Wangsa Sailendra yang memerintah sekitar tahun 782. Namanya ditemukan dalam prasasti Kelurak dengan disertai gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Tokoh ini dipercaya telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Wangsa Sailendra sampai ke Semenanjung Malaya dan daratan Indocina.

Salah satu pendapat yang dikemukakan Sejarawan Slamet Muljana menyebut Dharanindra identik dengan Sri Maharaja Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang periode Jawa Tengah, atau yang lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno.

Penumpas musuh-musuh perwira

Nama Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.

Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa (raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.

Sementara itu prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Coedes dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun 775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.

Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.

Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.

Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.

Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.

Hubungan dengan Rakai Panangkaran

Rakai Panangkaran adalah raja kedua Kerajaan Medang (periode Jawa Tengah) versi prasasti Mantyasih. Pada tahun 778 ia membangun Candi Kalasan atas permohonan para guru raja Sailendra.

Menurut teori van Naerrsen, Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sanjaya yang menjadi bawahan raja Sailendra. Nama raja Sailendra itu kemudian ditemukan dalam prasasti Kelurak (782), yaitu Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah atasan Rakai Panangkaran.

Menurut teori Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah disebutkan dalam prasasti mana pun. Sanjaya dan Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra namun berbeda agama. Sanjaya beragama Hindu Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran adalah putranya yang berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana.

Teori ini menolak anggapan bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Wangsa Sailendra, karena ia sendiri dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan (778). Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri. Prasasti Kalasan dan prasasti Kelurak hanya berselisih empat tahun, jadi kemungkinan besar dikeluarkan oleh raja yang sama. Dengan kata lain, Dharanindra adalah nama asli Rakai Panangkaran.

Menurut teori Slamet Muljana, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Keduanya berasal dari dua dinasti yang berbeda. Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Jika ia hanya menjadi raja bawahan saja, maka ia tidak mungkin bergelar maharaja dan dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Sementara itu, menurut prasasti Kalasan, nama asli Rakai Panangkaran adalah Dyah Pancapana, jadi tidak mungkin sama dengan Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran.

Dalam prasasti Mantyasih diketahui nama raja Kerajaan Medang sesudah Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan. Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan.


Samaratungga

Pada masa Raja Samaratungga, Candi Borobudur selesai dibangun.

Sri Maharaja Samarottungga, atau kadang ditulis Samaratungga, adalah raja Sriwijaya dari Wangsa Syailendra yang memerintah pada tahun 792835. Tidak seperti pendahulunya yang ekspansionis, pada masa pemerintahannya, Sriwijaya lebih mengedepankan pengembangan agama dan budaya. Pada tahun 825, dia menyelesaikan pembangunan candi Borobudur yang menjadi kebanggaan Indonesia. Untuk memperkuat aliansi antara wangsa Syailendra dengan penguasa Sriwijaya terdahulu, Samaratungga menikahi Dewi Tara, putri Dharmasetu. Dari pernikahan itu Samaratungga memiliki seorang putra pewaris tahta, Balaputradewa, dan Pramodhawardhani yang menikah dengan Rakai Pikatan, putra Sri Maharaja Rakai Garung, raja kelima Kerajaan Medang.[1]


Prasasti Kayumwungan

Nama Samaratungga terdapat dalam prasasti Kayumwungan atau prasasti Karang Tengah yang dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 824. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa, Samaratungga memiliki seorang putri bernama Pramodawardhani yang meresmikan sebuah jinalaya yang sangat indah. Prasasti ini dianggap berhubungan dengan pembangunan Candi Borobudur.

Prasasti Kayumwungan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama berbahasa Sansekerta sebagaimana disinggung di atas, sedangkan bagian kedua berbahasa Jawa Kuno yang dikeluarkan oleh Rakai Patapan Mpu Palar. Disebutkan, tokoh Mpu Palar menghadiahkan beberapa desa sebagai sima swatantra untuk ikut serta merawat candi Jinalaya tersebut.

Seputar Rakai Patapan Mpu Palar

Sejarawan De Casparis menganggap tokoh Rakai Patapan Mpu Palar adalah raja bawahan Samaratungga. Nama lengkapnya ditemukan dalam prasasti Gondosuli, yaitu Dang Karayan Patapan Sida Busu Pelar. Prasasti yang kedua ini dikeluarkan tahun 832 dan menyebutkan adanya istilah "kerajaan". Jadi, menurut De Casparis, Mpu Palar pada tahun itu melepaskan diri dari kekuasaan Samaratungga.

De Casparis juga menemukan bahwa, dalam prasasti Kedu terdapat informasi tentang desa Guntur yang masuk wilayah wihara Garung, serta masuk pula wilayah Patapan. Atas dasar ini, Rakai Patapan dianggap identik dengan Sri Maharaja Rakai Garung dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Rakai Garung adalah raja sebelum Rakai Pikatan, yang merupakan menantu Samaratungga.

Kesimpulannya ialah, Rakai Patapan Mpu Palar pada tahun 824 masih menjadi bawahan Samaratungga. Kemudian pada tahun 832 ia sudah membangun kerajaan sendiri dan memakai gelar Maharaja Rakai Garung. Putranya bernama Rakai Pikatan Mpu Manuku menikah dengan Pramodawardhani putri Samaratungga sehingga bisa mewarisi takhta Kerajaan Medang.

Teori De Casparis ini ditolak oleh Slamet Muljana. Menurutnya, prasasti Gondosuli dikeluarkan ketika Mpu Palar sudah meninggal. Gelar terakhirnya menurut prasasti itu ialah haji, yaitu gelar untuk raja bawahan di bawah maharaja. Jadi Haji Rakai Patapan tidak mungkin sama dengan Maharaja Rakai Garung. Selain itu, disebutkan pula bahwa anak-anak Mpu Palar semuanya perempuan, jadi tidak mungkin ia berputra Rakai Pikatan. Ditinjau dari tata bahasa prasasti Gondosuli, tokoh Mpu Palar diperkirakan berasal dari pulau Sumatra.

Dalam prasasti Munduan diketahui yang menjabat sebagai Rakai Patapan pada tahun 807 adalah Mpu Manuku. Kemudian pada prasasti Kayumwungan (824) dijabat oleh Mpu Palar. Namun, pada prasasti Tulang Air (850) Mpu Manuku kembali memimpin daerah Patapan.

Kesimpulannya ialah, Mpu Manuku mula-mula menjabat sebagai Rakai Patapan. Kemudian ia diangkat oleh Maharaja Samaratungga sebagai Rakai Pikatan, sehingga jabatannya digantikan oleh Mpu Palar, seorang pendatang dari Sumatra. Atas jasa-jasa dan kesetiaannya, Mpu Palar kemudian diangkat sebagai raja bawahan bergelar haji.

Rakai Pikatan Mpu Manuku berhasil menikahi Pramodawardhani sang putri mahkota. Ia bahkan berhasil menjadi raja Kerajaan Medang sepeninggal Samaratungga. Kemudian setelah Mpu Palar meninggal, daerah Patapan kembali diperintah olehnya. Mungkin dijadikan satu dengan Pikatan.

Identifikasi dengan Rakai Garung

Sri Maharaja Rakai Garung adalah raja kelima Kerajaan Medang dalam daftar para raja versi prasasti Mantyasih. Pada prasasti Pengging tanggal 21 Maret 819 juga ditemukan istilah Rakryan i Garung, namun tidak diketahui siapa nama aslinya.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, De Casparis menganggap Rakai Garung identik dengan Rakai Patapan Mpu Palar. Namun, teori ini ditolak Slamet Muljana berdasarkan analisis perbandingan prasasti Gondosuli, Kayumwungan, dan Mantyasih.

Menurut prasasti Mantyasih, Maharaja Rakai Garung memerintah Kerajaan Medang sebelum Rakai Pikatan. Maka, tokoh yang mungkin identik dengannya adalah Maharaja Samaratungga, bukan Mpu Palar yang hanya bergelar haji.

Jadi, menurut teori ini, sebelum menjadi raja di Kerajaan Medang, Samaratungga lebih dahulu menjabat sebagai kepala daerah di Garung (bergelar Rakryan i Garung atau Rakai Garung).

Hubungan dengan Balaputradewa

Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijaya yang mengaku sebagai putra Samaragrawira. Berdasarkan kemiripan nama, De Casparis menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga. Teori ini kemudian dipopulerkan oleh para sejarawan lainnya, misalnya Dr. Bosch.

Teori ini sangat populer sehingga muncul anggapan bahwa, sepeninggal Samaratungga terjadi perang saudara memperebutkan tahta antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan, suami saudaranya, Pramodawardhani. Akhirnya, Balaputradewa kalah dan menyingkir ke Palembang.

Bantahan kembali muncul dari Slamet Muljana yang menolak identifikasi Samaratungga dengan Samaragrawira. Prasasti Kayumwungan dengan jelas menyebutkan bahwa, Samaratungga hanya memiliki seorang putri saja, bernama Pramodawardhani. Menurut Slamet Muljana, tokoh Balaputradewa tidak memiliki hak atas tahta Jawa karena ia hanyalah adik Samaratungga, bukan putranya. Dengan kata lain, Samaragrawira memiliki dua orang putra, yaitu Samaratungga dan Balaputradewa.

Mungkin, Balaputradewa menyingkir ke Sumatra bukan karena kalah perang, tetapi karena sejak awal ia memang sudah tidak memiliki hak atas tahta Jawa. Menurut teori populer, markas Balaputradewa sewaktu berperang melawan Rakai Pikatan adalah bukit Ratu Baka. Namun, prasasti-prasasti yang ditemukan di bukit tersebut ternyata membuktikan kalau musuh Rakai Pikatan bukan Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni. Analisis terhadap prasasti-prasasti Ratu Baka tersebut dilakukan oleh Pusponegoro dan Notosutanto.

Masa Pemerintahan

Apabila teori Slamet Muljana benar, bahwa Samaratungga identik dengan Rakai Garung, maka tokoh ini diperkirakan naik tahta Kerajaan Medang sebelum tahun 819 (prasasti Pengging). Peresmian Candi Borobudur dianggap terjadi pada tahun 824 dan dilakukan oleh Pramodawardhani sang putri mahkota (prasasti Kayumwungan). Pada tahun ini Samaratungga dipastikan masih hidup.

Kemudian, prasasti Kahulunan tahun 842 menyebut adanya tokoh Sri Kahulunan yang telah menetapkan beberapa desa sebagai daerah perdikan untuk merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Ada dua versi penafsiran tokoh Sri Kahulunan ini, yaitu permaisuri atau ibu suri. Nama Samaratungga tidak disebut dalam prasasti itu sehingga ia diperkirakan sudah meninggal.

Saat itu diperkirakan masa pemerintahan Rakai Pikatan. Apabila Sri Kahulunan bermakna permaisuri, berarti ia adalah Pramodawardhani. Sedangkan apabila bermakna ibu suri, berarti ia adalah permaisuri Samaratungga.

Jadi kesimpulannya, pemerintahan Samaratungga diperkirakan terjadi sebelum tahun 819 dan berakhir sebelum tahun 842.


Pramodawardhani

Pramodawardhani adalah putri mahkota Wangsa Sailendra yang menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840-an.


Peresmian Borobudur

Nama Pramodawardhani ditemukan dalam prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti itu, ia meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan ini umumnya ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.

Sementara itu, prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur). Sejarawan Dr. De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan “permaisuri”, yaitu Pramodawardhani, karena pada saat itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.

Pendapat lain dikemukakan oleh Drs. Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan. Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukan Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.

Perkawinan dengan Rakai Pikatan

Rakai Pikatan Mpu Manuku adalah raja keenam Kerajaan Medang menurut prasasti Mantyasih. Dari prasasti Wantil diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri tersebut adalah Pramodawardhani.

Prasasti Kayumwungan tahun 824 hanya menyebut nama Pramodawardhani dan Samaratungga tanpa menyebut nama Mpu Manuku. Dapat diperkirakan bahwa pada tahun itu Pramodawardhani dan Mpu Manuku belum menikah.

Sementara itu pada prasasti Munduan tahun 807 Mpu Manuku sudah menjabat sebagai Rakai Patapan, padahal pada tahun 824 Pramodawardhani masih menjadi gadis. Ini berarti di antara keduanya terdapat perbedaan usia yang cukup jauh. Mungkin usia Rakai Pikatan Mpu Manuku sebaya dengan mertuanya, yaitu Samaratungga.

Dari perkawinan Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani diperkirakan lahir Rakai Gurunwangi Dyah Saladu (prasasti Plaosan) dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (prasasti Wantil). Berkat jasanya dalam menumpas musuh negara bernama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, Rakai Kayuwangi pun bisa menjadi raja sesudah Rakai Pikatan.

Pengangkatan Rakai Kayuwangi, seorang putra bungsu, menjadi raja tersebut kelak menimbulkan kecemburuan di hati Rakai Gurunwangi, yaitu dengan ditemukannya prasasti Munggu Antan tahun 887.

Hubungan dengan Balaputradewa

Balaputradewa adalah raja Kerajaan Sriwijaya putra Samaragrawira. Prof. N.J. Krom menganggap Samaragrawira identik dengan Samaratungga, sehingga Balaputradewa secara otomatis dianggap sebagai saudara Pramodawardhani.

Dr. De Casparis kemudian menyusun teori bahwa telah terjadi perang saudara memperebutkan takhta sepeninggal Samaratungga, antara Balaputradewa melawan Pramodawardhani. Akhirnya Balaputradewa dikalahkan Rakai Pikatan suami Pramodawardhani. Ia kemudian menyingkir ke Pulau Sumatra dan menjadi raja Kerajaan Sriwijaya.

Teori De Casparis tersebut berpedoman pada prasasti Wantil tahun 856 yang menyebutkan adanya peperangan antara Rakai Pikatan melawan seorang musuh yang bersembunyi dalam benteng timbunan batu. Pada prasasti Wantil ditemukan istilah Walaputra yang ditafsirkan sebagai nama lain Balaputradewa.

Sementara itu Prof. Slamet Muljana berpendapat bahwa Balaputradewa bukan saudara Pramodawardhani. Pendapat ini berpedoman pada prasasti Kayumwungan yang menyebut Samaratungga hanya memiliki seorang anak perempuan (yaitu Pramodawardhani). Menurut Slamet Muljana, Balaputradewa lebih tepat sebagai adik Samaratungga, dan keduanya merupakan putra dari Samaragrawira. Dengan kata lain, Pramodawardhani merupakan keponakan Balaputradewa.

Benteng timbunan batu yang menjadi markas Balaputradewa identik dengan Situs Ratu Boko. Drs. Boechari menemukan beberapa prasasti di sekitar situs tersebut, namun bukan atas nama Balaputradewa, melainkan atas nama Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni yang mengaku sebagai keturunan pendiri kerajaan (yaitu Sanjaya).

Boechari berpendapat bahwa, musuh Rakai Pikatan bukan Balaputradewa, melainkan Rakai Walaing. Istilah Walaputra dalam prasasti Wantil menurutnya bukan bermakna Balaputradewa, melainkan bermakna “anak bungsu”, yaitu julukan untuk Rakai Kayuwangi selaku pahlawan penumpas Rakai Walaing.

Bukti lain menunjukkan adanya kerusakan pada sebagian prasasti yang mencatat urutan silsilah Rakai Walaing. Kerusakan ini seolah sengaja dilakukan oleh Rakai Pikatan sebagai sesama keturunan Sanjaya yang bersaing memperebutkan takhta Medang.

Apabila pendapat Slamet Muljana dan Boechari dipadukan maka dapat diajukan sebuah teori bahwa perang antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa mungkin tidak pernah terjadi. Menurut prasasti Po Ngar pada tahun 802 negeri Kamboja berhasil melepaskan diri dari penjajahan Jawa. Mungkin hal ini menjadi alasan Samaragrawira pada akhir pemerintahannya membagi kekuasaan Wangsa Sailendra untuk kedua putranya. Samaratungga berkuasa di Jawa, sedangkan Balaputradewa berkuasa di Sumatra.

Teori kedua ini menjadi alternatif selain teori pertama yang menyebut Balaputradewa menyingkir ke Sumatra akibat kalah perang melawan Pramodawardhani yang dibantu Rakai Pikatan.

Mataram Kuno Dinasti Syailendra

Daftar raja Jawa


Mataram Kuno

Dinasti Syailendra

Dinasti Sanjaya

Medang

Kahuripan

  • Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)

Janggala

(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)

Kadiri

(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)

Singhasari

[sunting] Majapahit

Demak

Kesultanan Pajang

Mataram Baru

Daftar ini merupakan Daftar penguasa Mataram Baru atau juga disebut sebagai Mataram Islam. Catatan: sebagian nama penguasa di bawah ini dieja menurut ejaan bahasa Jawa.

Kasunanan Kartasura

  1. Amangkurat II (16801702), pendiri Kartasura.
  2. Amangkurat III (17021705), dibuang VOC ke Srilangka.
  3. Pakubuwana I (17051719), pernah memerangi dua raja sebelumya; juga dikenal dengan nama Pangeran Puger.
  4. Amangkurat IV (17191726), leluhur raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.
  5. Pakubuwana II (17261742), menyingkir ke Ponorogo karena Kartasura diserbu pemberontakl; mendirikan Surakarta.

Kasunanan Surakarta

Lambang Pakubuwana
  1. Pakubuwana II (1745 - 1749), pendiri kota Surakarta; memindahkan keraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
  2. Pakubuwana III (1749 - 1788), mengakui kedaulatan Hamengkubuwana I sebagai penguasa setengah wilayah kerajaannya.
  3. Pakubuwana IV (1788 - 1820)
  4. Pakubuwana V (1820 - 1823)
  5. Pakubuwana VI (1823 - 1830), diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia; juga dikenal dengan nama Pangeran Bangun Tapa.
  6. Pakubuwana VII (1830 - 1858)
  7. Pakubuwana VIII (1859 - 1861)
  8. Pakubuwana IX (1861 - 1893)
  9. Pakubuwana X (1893 - 1939)
  10. Pakubuwana XI (1939 - 1944)
  11. Pakubuwana XII (1944 - 2004)
  12. Gelar Pakubuwana XIII (2004 - sekarang) diklaim oleh dua orang, Pangeran Hangabehi dan Pangeran Tejowulan.

Kasultanan Yogyakarta

Lambang Hamengkubuwana

Hamengkubuwana atau Hamengkubuwono atau Hamengku Buwono atau lengkapnya Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalogo Ngabdurahman Sayiddin Panotogomo Khalifatullah adalah gelar bagi raja Kesultanan Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam di Yogyakarta. Dinasti Hamengkubuwana tercatat sebagai dinasti yang gigih memperjuangkan kemerdekaan pada masa masing-masing, antara lain Hamengkubuwana I atau nama mudanya Pangeran Mangkubumi, kemudian penerusnya yang salah satunya adalah ayah dari Pahlawan Nasional Pangeran Diponegoro, yaitu Hamengkubuwana III. Sri Sultan Hamengkubuwana IX pernah menjabat sebagai wakil presiden Indonesia yang kedua.

Yang bertahta saat ini adalah Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Daftar sultan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Sri Sultan Hamengkubuwono I 13 Februari 1755 24 Maret 1792
2. Sri Sultan Hamengkubuwono II 2 April 1792 akhir 1810 periode pertama
3. Sri Sultan Hamengkubuwono III akhir 1810 akhir 1811 periode pertama

Sri Sultan Hamengkubuwono II akhir 1811 20 Juni 1812 periode kedua

Sri Sultan Hamengkubuwono III 29 Juni 1812 3 November 1814 periode kedua
4. Sri Sultan Hamengkubuwono IV 9 November 1814 6 Desember 1823
5. Sri Sultan Hamengkubuwono V 19 Desember 1823 17 Agustus 1826 periode pertama

Sri Sultan Hamengkubuwono II 17 Agustus 1826 2 Januari 1828 periode ketiga

Sri Sultan Hamengkubuwono V 17 Januari 1828 5 Juni 1855 periode kedua
6. Sri Sultan Hamengkubuwono VI 5 Juli 1855 20 Juli 1877
7. Sri Sultan Hamengkubuwono VII 22 Desember 1877 29 Januari 1921
8. Sri Sultan Hamengkubuwono VIII 8 Februari 1921 22 Oktober 1939
9. Sri Sultan Hamengkubuwono IX 18 Maret 1940 2 Oktober 1988
10. Sri Sultan Hamengkubuwono X 7 Maret 1989 sekarang

Praja Mangkunagaran di Surakarta

Lambang Mangkunegara
  1. Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 - 1795)
  2. Mangkunagara II (1796 - 1835)
  3. Mangkunagara III (1835 - 1853)
  4. Mangkunagara IV (1853 - 1881)
  5. Mangkunagara V (1881 - 1896)
  6. Mangkunagara VI (1896 - 1916)
  7. Mangkunagara VII (1916 -1944)
  8. Mangkunagara VIII (1944 - 1987)
  9. Mangkunagara IX (1987 - sekarang)

Kadipaten Paku Alaman di Yogyakarta

Lambang Pakualaman
  1. Paku Alam I (1813 - 1829)
  2. Paku Alam II (1829 - 1858)
  3. Paku Alam III (1858 - 1864)
  4. Paku Alam IV (1864 - 1878)
  5. Paku Alam V (1878 - 1900)
  6. Paku Alam VI (1901 - 1902)
  7. Paku Alam VII (1903 - 1938)
  8. Paku Alam VIII (1938 - 1998)
  9. Paku Alam IX (1998 - sekarang)

Selasa, 19 Januari 2010

SOAL SEJARAH

6. 3. Pemerintahan Megawati

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

6. 4. Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

7. Catatan kaki

  1. Masih diperdebatkan, apakah termasuk H. erectus atau H. sapiens
  2. Swisher et al. 1996 (cit. Capelli et al. 2001. Am. J. Hum. Genet. 68:432-443) menyebutkan hingga 25.000 tahun yang lalu.
  3. Roberts 1990.
  4. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma'arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat.
  5. Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6.

7. 1. Lihat pula

7. 2. Sumber dan bacaan lebih lanjut

  • (en) Ideals without Heat: Indonesia Raya and the Struggle for Independence in Malaya, 1920-1948
  • (en) Ricklefs, M.C. 2001. A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7
  • (en) Taylor, Jean Gelman. 2003. Indonesia: Peoples and histories. New Haven: Yale University Press. ISBN 0-300-09709-3
  • (en) Schwarz, Adam. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. 2nd Edition. St Leonards, NSW : Allen & Unwin.
  • (en) Sebagian isi artikel ini berasal dari Library of Congress.
  • (id) Sunanto Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9.
  • (id) Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal 92-93
  • (id) Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi

SEJARAH INDONESIA



Sejarah Indonesia meliputi suatu rentang waktu yang sangat panjang yang dimulai sejak zaman prasejarah berdasarkan penemuan "Manusia Jawa" yang berusia 1,7 juta tahun yang lalu. Periode sejarah Indonesia dapat dibagi menjadi lima era: Era Prakolonial, munculnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha serta Islam di Jawa dan Sumatera yang terutama mengandalkan perdagangan; Era Kolonial, masuknya orang-orang Eropa (terutama Belanda) yang menginginkan rempah-rempah mengakibatkan penjajahan oleh Belanda selama sekitar 3,5 abad antara awal abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20; Era Kemerdekaan Awal, pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (1945) sampai jatuhnya Soekarno (1966); Era Orde Baru, 32 tahun masa pemerintahan Soeharto (1966-1998); serta Era Reformasi yang berlangsung sampai sekarang.

Daftar isi:
1. Prasejarah
2. Era pra kolonial
3. Era kolonial
4. Era kemerdekaan
5. Era Orde Baru
6. Era reformasi
7. Catatan kaki

Artikel ini bagian dari seri
Sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
Pra-Kolonial (sebelum 1602)
Pra-sejarah
Kerajaan Hindu-Buddha
Kerajaan Islam
Zaman kolonial (1602-1945)
Era Portugis
Era VOC
Era Belanda
Era Jepang (1942-1945)
Sejarah Republik Indonesia
Proklamasi (17 Agustus 1945)
Masa Transisi
Era Orde Lama
Demokrasi Terpimpin
Operasi Trikora (1960-1962)
Konfrontasi Indo-Malaya (1962-1965)
Gerakan 30 September 1965
Era Orde Baru
Gerakan Mahasiswa 1998
Era Reformasi
[]

1. Prasejarah

Artikel utama: Nusantara pada periode prasejarah.

Secara geologi, wilayah Indonesia modern (untuk kemudahan, selanjutnya disebut Nusantara) merupakan pertemuan antara tiga lempeng benua utama: Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik (lihat artikel Geologi Indonesia). Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es, hanya 10.000 tahun yang lalu.

Pada masa Pleistosen, ketika masih terhubung dengan Asia Daratan, masuklah pemukim pertama. Bukti pertama yang menunjukkan penghuni pertama adalah fosil-fosil Homo erectus manusia Jawa dari masa 2 juta hingga 500.000 tahun lalu. Penemuan sisa-sisa "manusia Flores" (Homo floresiensis)[1] di Liang Bua, Flores, membuka kemungkinan masih bertahannya H. erectus hingga masa Zaman Es terakhir.[2]

Homo sapiens pertama diperkirakan masuk ke Nusantara sejak 100.000 tahun yang lalu melewati jalur pantai Asia dari Asia Barat, dan pada sekitar 50.000 tahun yang lalu telah mencapai Pulau Papua dan Australia.[3] Mereka, yang berciri rasial berkulit gelap dan berambut ikal rapat (Negroid), menjadi nenek moyang penduduk asli Melanesia (termasuk Papua) sekarang dan membawa kultur kapak lonjong (Paleolitikum). Gelombang pendatang berbahasa Austronesia dengan kultur Neolitikum datang secara bergelombang sejak 3000 SM dari Cina Selatan melalui Formosa dan Filipina membawa kultur beliung persegi (kebudayaan Dongson). Proses migrasi ini merupakan bagian dari pendudukan Pasifik. Kedatangan gelombang penduduk berciri Mongoloid ini cenderung ke arah barat, mendesak penduduk awal ke arah timur atau berkawin campur dengan penduduk setempat dan menjadi ciri fisik penduduk Maluku serta Nusa Tenggara. Pendatang ini membawa serta teknik-teknik pertanian, termasuk bercocok tanam padi di sawah (bukti paling lambat sejak abad ke-8 SM), beternak kerbau, pengolahan perunggu dan besi, teknik tenun ikat, praktek-praktek megalitikum, serta pemujaan roh-roh (animisme) serta benda-benda keramat (dinamisme). Pada abad pertama SM sudah terbentuk pemukiman-pemukiman serta kerajaan-kerajaan kecil, dan sangat mungkin sudah masuk pengaruh kepercayaan dari India akibat hubungan perniagaan.

2. Era pra kolonial

2. 1. Sejarah awal

Lihat pula: Sejarah Nusantara.

Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau kerajaan Hindu Jawa Dwipa di pulau Jawa dan Sumatra sekitar 200 SM. Bukti fisik awal yang menyebutkan tanggal adalah dari abad ke-5 mengenai dua kerajaan bercorak Hinduisme: Kerajaan Tarumanagara menguasai Jawa Barat dan Kerajaan Kutai di pesisir Sungai Mahakam, Kalimantan. Pada tahun 425 agama Buddha telah mencapai wilayah tersebut.

Di saat Eropa memasuki masa Renaisans, Nusantara telah mempunyai warisan peradaban berusia ribuan tahun dengan dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa, ditambah dengan puluhan kerajaan kecil yang sering kali menjadi vazal tetangganya yang lebih kuat atau saling terhubung dalam semacam ikatan perdagangan (seperti di Maluku).

2. 2. Kerajaan Hindu-Buddha


Prasasti Tugu peninggalan Raja Purnawarman dari Taruma

Pada abad ke-4 hingga abad ke-7 di wilayah Jawa Barat terdapat kerajaan bercorak Hindu-Budha yaitu kerajaan Tarumanagara yang dilanjutkan dengan Kerajaan Sunda sampai abad ke-16. Pada masa abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddha Sriwijaya berkembang pesat di Sumatra. Penjelajah Tiongkok I Ching mengunjungi ibukotanya Palembang sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan Semenanjung Melayu. Abad ke-14 juga menjadi saksi bangkitnya sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Patih Majapahit antara tahun 1331 hingga 1364, Gajah Mada berhasil memperoleh kekuasaan atas wilayah yang kini sebagian besarnya adalah Indonesia beserta hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari masa Gajah Mada termasuk kodifikasi hukum dan dalam kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam wiracarita Ramayana.

2. 3. Kerajaan Islam

Islam sebagai sebuah pemerintahan hadir di Indonesia sekitar abad ke-12, namun sebenarnya Islam sudah sudah masuk ke Indonesia pada abad 7 Masehi. Saat itu sudah ada jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina, Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat sejak abad 7.[4]

Menurut sumber-sumber Cina menjelang akhir perempatan ketiga abad 7, seorang pedagang Arab menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir pantai Sumatera. Islam pun memberikan pengaruh kepada institusi politik yang ada. Hal ini nampak pada Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Bani Umayyah meminta dikirimkan da'i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Surat itu berbunyi: “Dari Raja di Raja yang adalah keturunan seribu raja, yang isterinya juga cucu seribu raja, yang di dalam kandang binatangnya terdapat seribu gajah, yang di wilayahnya terdapat dua sungai yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wanginya hingga menjangkau jarak 12 mil, kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Allah. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan. Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya.” Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama 'Sribuza Islam'. Sayang, pada tahun 730 M Sriwijaya Jambi ditawan oleh Sriwijaya Palembang yang masih menganut Budha.[5]

Islam terus mengokoh menjadi institusi politik yang mengemban Islam. Misalnya, sebuah kesultanan Islam bernama Kesultanan Peureulak didirikan pada 1 Muharram 225 H atau 12 November 839 M. Contoh lain adalah Kerajaan Ternate. Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440. Rajanya seorang Muslim bernama Bayanullah.

Kesultanan Islam kemudian semikin menyebarkan ajaran-ajarannya ke penduduk dan melalui pembauran, menggantikan Hindu sebagai kepercayaan utama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera. Hanya Bali yang tetap mempertahankan mayoritas Hindu. Di kepulauan-kepulauan di timur, rohaniawan-rohaniawan Kristen dan Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17, dan saat ini ada mayoritas yang besar dari kedua agama di kepulauan-kepulauan tersebut.

Penyebaran Islam dilakukan melalui hubungan perdagangan di luar Nusantara; hal ini, karena para penyebar dakwah atau mubaligh merupakan utusan dari pemerintahan Islam yang datang dari luar Indonesia, maka untuk menghidupi diri dan keluarga mereka, para mubaligh ini bekerja melalui cara berdagang, para mubaligh inipun menyebarkan Islam kepada para pedagang dari penduduk asli, hingga para pedagang ini memeluk Islam dan meyebarkan pula ke penduduk lainnya, karena umumnya pedagang dan ahli kerajaan lah yang pertama mengadopsi agama baru tersebut. Kerajaan Islam penting termasuk diantaranya: Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Banten yang menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara Eropa, Kerajaan Mataram, dan Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku.

3. Era kolonial

3. 1. Kolonisasi Portugis

3. 2. Kolonisasi VOC

Mulai tahun 1602 Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis, yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975 ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.


Logo VOC

Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.

VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.

3. 3. Kolonisasi pemerintah Belanda

Setelah VOC jatuh bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil ditumpas dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830 sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan pada masa yang lebih bebas setelah 1870.

Pada 1901 pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Kebijakan Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah gubernur-jendral J.B. van Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi bagi negara Indonesia saat ini.

3. 4. Gerakan nasionalisme

Pada 1905 gerakan nasionalis yang pertama, Serikat Dagang Islam dibentuk dan kemudian diikuti pada tahun 1908 oleh gerakan nasionalis berikutnya, Budi Utomo. Belanda merespon hal tersebut setelah Perang Dunia I dengan langkah-langkah penindasan. Para pemimpin nasionalis berasal dari kelompok kecil yang terdiri dari profesional muda dan pelajar, yang beberapa di antaranya telah dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjara karena kegiatan politis, termasuk Presiden Indonesia yang pertama, Soekarno.

3. 5. Perang Dunia II

Pada Mei 1940, awal Perang Dunia II, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman. Hindia-Belanda mengumumkan keadaan siaga dan di Juli mengalihkan ekspor untuk Jepang ke Amerika Serikat dan Britania. Negosiasi dengan Jepang yang bertujuan untuk mengamankan persediaan bahan bakar pesawat gagal di Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara di bulan Desember tahun itu. Di bulan yang sama, faksi dari Sumatra menerima bantuan Jepang untuk mengadakan revolusi terhadap pemerintahan Belanda. Pasukan Belanda yang terakhir dikalahkan Jepang pada Maret 1942.

3. 6. Pendudukan Jepang

Pada Juli 1942, Soekarno menerima tawaran Jepang untuk mengadakan kampanye publik dan membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan militer Jepang. Soekarno, Mohammad Hatta, dan para Kyai didekorasi oleh Kaisar Jepang pada tahun 1943. Tetapi, pengalaman dari penguasaan Jepang di Indonesia sangat bervariasi, tergantung di mana seseorang hidup dan status sosial orang tersebut. Bagi yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, terlibat perbudakan seks, penahanan sembarang dan hukuman mati, dan kejahatan perang lainnya. Orang Belanda dan campuran Indonesia-Belanda merupakan target sasaran dalam penguasaan Jepang.

Pada Maret 1945 Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada pertemuan pertamanya di bulan Mei, Soepomo membicarakan integrasi nasional dan melawan individualisme perorangan; sementara itu Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus mengklaim Sarawak, Sabah, Malaya, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang.

Pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus.





4. Era kemerdekaan

4. 1. Proklamasi kemerdekaan

Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti itu pada 16 Agustus, Soekarno membacakan "Proklamasi" pada hari berikutnya. Kabar mengenai proklamasi menyebar melalui radio dan selebaran sementara pasukan militer Indonesia pada masa perang, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), para pemuda, dan lainnya langsung berangkat mempertahankan kediaman Soekarno.

Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan. Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra, Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.

4. 2. Perang kemerdekaan


Teks Proklamasi

Dari 1945 hingga 1949, persatuan kelautan Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan, melarang segala pelayaran Belanda sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai dukungan logistik maupun suplai yang diperlukan untuk membentuk kembali kekuasaan kolonial.

Usaha Belanda untuk kembali berkuasa dihadapi perlawanan yang kuat. Setelah kembali ke Jawa, pasukan Belanda segera merebut kembali ibukota kolonial Batavia, akibatnya para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai ibukota mereka. Pada 27 Desember 1949 (lihat artikel tentang 27 Desember 1949), setelah 4 tahun peperangan dan negosiasi, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Federal Indonesia. Pada 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 PBB.

Lihat pula The National Revolution, 1945-50 untuk keterangan lebih lanjut (dalam bahasa Inggris).

4. 3. Demokrasi parlementer

Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang stabil susah dicapai.

Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam.

4. 4. Demokrasi Terpimpin

Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 1959 ketika Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak hambatan.

Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah label "Demokrasi Terpimpin". Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut berkumpul di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk mendirikan fondasi yang kelak menjadi Gerakan Non-Blok.

Pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.

4. 5. Konfrontasi Indonesia-Malaysia

Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah "rencana neo-kolonial" untuk mempermudah rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruh imperialisme negara-negara Barat di kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai tandingan PBB dan GANEFO sebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang dibantu oleh Inggris).

4. 6. Nasib Irian Barat

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.

Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962. Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

4. 7. Gerakan 30 September

Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.

5. Era Orde Baru

Setelah Soeharto menjadi Presiden, salah satu pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an. Dia juga memperkaya dirinya, keluarganya, dan rekan-rekat dekat melalui korupsi yang merajalela.

5. 1. Irian Jaya

Setelah menolak supervisi dari PBB, pemerintah Indonesia melaksanakan "Act of Free Choice" (Aksi Pilihan Bebas) di Irian Jaya pada 1969 di mana 1.025 wakil kepala-kepala daerah Irian dipilih dan kemudian diberikan latihan dalam bahasa Indonesia. Mereka secara konsensus akhirnya memilih bergabung dengan Indonesia. Sebuah resolusi Sidang Umum PBB kemudian memastikan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya setelah perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam atmosfer yang lebih terbuka setelah 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.

5. 2. Timor Timur

Dari 1596 hingga 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenal sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat kejadian politis di Portugal, pejabat Portugal secara mendadak mundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pemilu lokal pada tahun 1975, Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagian oleh orang-orang yang membawa paham Marxisme, dan UDT, menjadi partai-partai terbesar, setelah sebelumnya membentuk aliansi untuk mengkampanyekan kemerdekaan dari Portugal.

Pada 7 Desember 1975, pasukan Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia, yang mempunyai dukungan material dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan Amerika Serikat dan Australia, berharap dengan memiliki Timor Timur mereka akan memperoleh tambahan cadangan minyak dan gas alam, serta lokasi yang strategis.

Pada masa-masa awal, pihak militer Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200.000 warga Timor Timur — melalui pembunuhan, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi saat Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.

Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pemungutan suara yang diadakan PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 3/4-nya memilih untuk merdeka. Segera setelah hasilnya diumumkan, dikabarkan bahwa pihak militer Indonesia melanjutkan pengrusakan di Timor Timur, seperti merusak infrastruktur di daerah tersebut.

Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang mengintegrasikan Timor Timur ke wilayah Indonesia, dan Otorita Transisi PBB (UNTAET) mengambil alih tanggung jawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002 sebagai negara Timor Leste.

5. 3. Krisis ekonomi


Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya didampingi B.J. Habibie.

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, serta ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

6. Era reformasi

6. 1. Pemerintahan Habibie

Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.

6. 2. Pemerintahan Wahid

Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.

Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.


6. 3. Pemerintahan Megawati

Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.

6. 4. Pemerintahan Yudhoyono

Pada 2004, pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.

Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.

7. Catatan kaki

  1. Masih diperdebatkan, apakah termasuk H. erectus atau H. sapiens
  2. Swisher et al. 1996 (cit. Capelli et al. 2001. Am. J. Hum. Genet. 68:432-443) menyebutkan hingga 25.000 tahun yang lalu.
  3. Roberts 1990.
  4. Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9; Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal. 92-93; A. Hasymi, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia: Kumpulan prasaran pada seminar di Aceh, 1993, cet. 3, al-Ma'arif, hal. 7; Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi; Ensiklopedia Tematis Dunia Islam Asia Tenggara, Kedatangan dan Penyebaran Islam oleh Dr. Uka Tjandrasasmita, 2002, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, hal 9-27. Dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia abad ke 9. Ada juga yang menyebutkan abad ke 13. Namun, sebenarnya Islam masuk ke Indonesia abad 7M, lalu berkembang menjadi institusi politik sejak abad 9M, dan pada abad 13M kekuatan politik Islam menjadi amat kuat.
  5. Musyrifah Sunanto, op cit. hal 6.

7. 1. Lihat pula

7. 2. Sumber dan bacaan lebih lanjut

  • (en) Ideals without Heat: Indonesia Raya and the Struggle for Independence in Malaya, 1920-1948
  • (en) Ricklefs, M.C. 2001. A history of modern Indonesia since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7
  • (en) Taylor, Jean Gelman. 2003. Indonesia: Peoples and histories. New Haven: Yale University Press. ISBN 0-300-09709-3
  • (en) Schwarz, Adam. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. 2nd Edition. St Leonards, NSW : Allen & Unwin.
  • (en) Sebagian isi artikel ini berasal dari Library of Congress.
  • (id) Sunanto Musyrifah. Sejarah Peradaban Islam indonesia, 2005, Rajawali Press, hal. 8-9.
  • (id) Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah, 1998, cet. IV, Mizan, hal 92-93
  • (id) Hadi Arifin, Malikussaleh: Mutiara dari Pasai, 2005, PT. Madani Press, hal. Xvi